RSS

Tag Archives: Saudi Arabia

Ummul Hamaam, BUKAN Hammaam!

Ummul Hamaam Al Gharbi selepas subuh

Ummul Hamaam (huruf mim-nya tanpa syaddah, atau tasjid kalo orang Indonesia bilang) adalah nama kawasan jalan di Riyadh tempat saya tinggal.

Kenapa saya nekanin banget untuk membedakan dua prase ini?

Soalnya kalo sampe salah ucap maknanya jadi jauuuuuhhh banget.

*Hamaam dalam bahasa Indonesia artinya merpati.

*Hammaam (mim-nya ber-syaddah) artinya WC atau toilet.

Beda banget kan artinya?

Ceritanya gini, kalau pas saya kenalan sama orang yang sama-sama tinggal di Riyadh, pasti mereka nanya saya tinggalnya di kawasan mana? Saya pun selalu menjawab “di Ummul Hamaam Al Gharbi (bagian barat).” Kalau ketemunya sama mereka yang berbahasa Arab sih nggak masalah. Mereka paham aja arti dan cara pelafalannya.

Sama yang non berbahasa Arab ini nih masalahnya. Mereka tuh suka salah ngeja kata “hamaam” jadi “hammaam” dengan wajah yang polos banget. “Sorry, hamaam without syaddah, not hammaam!” ralat saya. Entah kenapa saya terlalu sulit menerimanya. Bahkan sampai sekarang. ^^

Ummul Hamaam, 9 Rabi’ul Awwal 1433 H

 
Leave a comment

Posted by on 2 February 2012 in Edisi Riyadh

 

Tags: , , , , , ,

Riyadh, I’m In Love

Kingdom Tower

     Aku jatuh cinta dengan Riyadh. Lima bulan hidup di ibukota Saudi Arabia bagiku terasa sangat menyenangkan. Well, hidupnya monoton memang. Rumah-sekolah. Di dua tempat itu saja aku menghabiskan aktivitasku. Jika butuh, sesekali aku pergi belanja ke mall atau ke rumah sakit. Suamiku yang lebih sering belanja.

     Laiknya hidup di Negara Islam, maka suasana keislaman pun kental terasa di sini. Setiap waktu shalat tiba, warung kecil sampai mall paling besar harus tutup. Begitu juga kantor dan kampus. Menakjubkan. Beberapa kali ketika belanja dan tiba waktu shalat, aku harus terkurung di dalam mall bersama wanita-wanita lainnya, menunggu para pekerja dan pengunjung laki-laki sampai selesai shalat. Di Riyadh juga masih bisa ditemukan polisi syariah berpatroli menyuruh manusia shalat berjama’ah di masjid.

     Aku tidak mengatakan Riyadh yang terbaik dalam menerapkan hukum Islam. Wanita yang tidak berjilbab juga bisa didapati di tempat-tempat umum di sini, semisal rumah sakit dan toko-toko. Biasanya mereka berasal dari Pilipina, India, atau sebagian Amerika. Jumlah mereka tidak banyak. Alhamdulillah. Paling tidak aku merasa bebas bercadar di sini.

     Oh iya, di Indonesia mungkin masih agak aneh bagi mayoritas masyarakat melihat perempuan bercadar. Di Riyadh sebaliknya. Perempuan tak berjilbab akan diplototi dengan tatapan aneh dari berpasang-pasang mata. Saya sendiri sih kalau melihat mereka biasanya berkomentar dalam hati, “ah, paling-paling juga non Muslim.”

     Untuk makanan, tidak sulit mencari bahan masakan Indonesia di Riyadh. Lulu Hypermart langgananku bahkan nyaris komplit menjual bahan masakan Asia, khususnya Indonesia. Pare, oyong, kunyit, jahe, kelapa, singkong, ubi, jagung, terong, sampai daun pisang pun dijual di sini. Oops! Maaf bukan bermaksud promosi.

     Biaya hidup di Riyadh termasuk tinggi. Awal-awal ketika belanja, meski harganya cuma 1 Riyal, otakku masih suka menghitungnya ke kurs rupiah. “Masak segini doang 2.500 Rupiah?” Hehe, gimana jika tinggal di Inggris ya? Nilai tukar rupiahnya pasti lebih tinggi lagi. Hey, apa peduliku?

     Di Riyadh suamiku baru berani beli televisi. Siarannya banyak yang bagus. Ulama Saudi banyak yang sering ngasih kajian lewat TV. Chanel favoritku adalah Bin Othaymeen TV dan Semsem. Yang pertama isinya adalah seluruh rekaman kajian Syaikh Utsaimin rahimahullah dan alhamdulillah bahasa Arab beliau tidak terlalu susah dipahami. Adapun yang kedua adalah chanel yang programnya khusus untuk anak-anak. Isinya film kartun tentang kehidupan binatang yang dikemas edukatif dan ada nilai islaminya. Film-filmnya bebas musik, itu yang aku suaki. Sebenarnya sih paling sering kutonton hanya untuk menyimak bahasa Arab.

     Produk-produk makanan Saudi banyak yang aku sukai. Dari susu, keju, yoghurt, coklat, roti, sampai crackers banyak yang enak-enak. Kami (baca, aku dan suami) lebih senang mengkonsumsi susu dan yohurt yang masa berlakunya hanya 3-7 hari. Susu bubuk pun kami beli, tapi hanya untuk campuran bahan kudapan biasanya. Jenis buah-buahannya pun banyak di sini. Buah-buahan yang mahal di Indonesia semacam anggur, cheri, raspberry, atau aprikot harga lumayan murah. Sebaliknya, buah-buahan tropis seperti rambutan, manggis, klengkeng, atau langsat, jangan tanya deh harganya. Biasanya di atas 15 Riyal per kilo, bahkan ada yang hanya 1/4 kilo. Mahal banget untuk ukuran gaji suamiku.

     Kendaraan utama yang banyak dipilih masyarakat Riyadh adalah mobil. Bis dan taksi jadi alternatif kedua. Sedikit sekali ditemukan motor di sini. Karena biaya taksi mahal, banyak mahasiswa yang memilih beli mobil sendiri, termasuk mahasiswa Indonesia. Hanya dengan modal minimal 6000 Riyal biasanya sudah bisa beli mobil bekas produksi tahun 90-an yang masih bagus kondisinya.

     Alasan lainnya yang membuat aku suka tinggal di Riyadh adalah fasilitas layanan kesehatan gratis untuk istri mahasiswa King Saud University. King Khalid Hospital adalah rumah sakit langganan para keluarga mahasiswa KSU ketika mereka berobat atau hanya sekadar konsultasi. Karena berstatus istri mahasiswa KSU, maka semua layanan diberikan cuma-cuma. Jika ada istri mahasiswa yang melahirkan atau operasi yang butuh rawat inap di rumah sakit pun tidak dipungut biaya sama sekali. Begitu juga dengan rumah sakit giginya. Aku termasuk yang senang banget ke sini walau hanya untuk tambal gigi atau bersihin karang gigi. Hahay, gratis sih.

    Di luar topik bahasan, ada beberapa pertanyaan yang sampai sekarang menggelayut di kepalaku tentang Kota Riyadh. “Istana Raja Abdullah itu di kawasan mana ya?” Masak Istana Negara aja yang belum pernah aku kunjungi aku tahu daerahnya. Hehe, nggak penting ya? Aku sudah tanya beberapa kenalan tapi semua nggak ambil pusing. Mungkin juga karena aku tidak pernah bertanya pada orang Riyadh asli. Trus, “di mana ya rumahnya Syaikh Bin Baz rahimahullah?” Ini nih yang sangat bikin penasaran. Kata suamiku, “ada-ada aja pengen tahunya.” Iya ya, nggak penting memang. Paling penting adalah berusaha mencontoh keilmuan beliau.

    Nah, aku paling senang cerita bagian yang terakhir. Hal yang teramat sangat membuatku jatuh cinta truly madly deeply dengan Riyadh, yakni bisa selalu berkunjung ke Baitullah Makkah Almukarramah. Setiap liburan atau kapanpun kita mau, insya Allah kami bisa selalu kesana. Tak tahu lagi harus kuwakilkan dengan apa rasa syukurku atas segala nikmat Allah atas diriku, terutama nikmat bisa shalat dan berdoa Masjidil Haram, tempat semua hati kaum muslimin bertaut.

           

“Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmatNya berbagai kemaslahatan bisa tercapai.”

 

 

Ummul Hamam, 7 Rabi’ul Awwal 1433 H.

 
Leave a comment

Posted by on 30 January 2012 in Edisi Riyadh

 

Tags: , , , , ,